PIETISME DALAM SEJARAH KEKRISTENAN


PIETISME DALAM SEJARAH KEKRISTENAN;
Menyikapi Fenomena “Persekutuan Doa” dalam Lingkup Gereja Masehi Injili di Timor


Pendahuluan
“Persekutuan Doa” adalah sebutan yang diberikan kepada sebuah perkumpulan yang semula muncul dari kerinduan beberapa orang untuk bersekutu dan berdoa di luar program gereja. Perkumpulan atau persekutuan ini tidak terstruktur dan juga tidak terorganisir. Persekutuan ini muncul dari komitmen anggota untuk berdoa bagi bangsa dan negara, gereja serta jemaat-jemaat yang mengalami pergumulan. Kegiatan ini juga dilakukan secara rutin sesuai jadwalnya sekali dalam seminggu selain hari minggu.
Mengacu kepada judul di atas, muncul beberapa pertanyaan yang akan dibahas pada ulasan selanjutnya dalam tulisan ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti; Apa itu Pietisme dan apa hubungannya dengan “Persekutuan Doa”? Apakah anggota “Persekutuan Doa” memahami bahwa mereka adalah bagian dari sebuah aliran yang terjadi sebelumnya (Pietisme)? Apa sumbangsih Pietisme bagi gereja dan apakah hal ini juga dilakukan oleh “Persekutuan Doa”? Apakah spirit dari Pietisme masih ada sampai sekarang ini? Apakah “Persekutuan Doa” melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh “Pietisme”?
Saya akan membahasnya dan kiranya tulisan ini memberikan gambaran kepada gereja atau “Persekutuan Doa” untuk memahami apa sebenarnya yang terjadi menyangkut fenomena “Persekutuan Doa” dalam Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).

Mengenal Pietisme dalam Sejarah Kekristenan dan Hubungannya dengan Persekuan Doa
1.       Apa itu Pietisme?
Hal penting yang pertama sekali dicermati adalah mengenal Pietisme dalam sejarah dan menilainya secara objektif. Pietisme adalah sebuah aliran dalam Protestanisme yang diprakarsai oleh Philipp Jacob Spener pada tahun 1669. Awalnya istilah ini dipakai sebagai ejekan terhadap kelompok orang-orang yang hidup saleh (Collegia Pietatis) tetapi lama kelamaan konotasi negatif dari kata itu mulai hilang, bahkan Pietisme menjadi tanda pengenal atau nama aliran itu. Dewasa ini kita tidak mengetahui secara pasti tentang gereja tertentu yang menyatakan diri sebagai penganut aliran ini karena Pietisme sejak dari awal munculnya tidak bermaksud untuk mendirikan sebuah aliran gereja yang menganut doktrin tertentu. Pietisme muncul dalam Protestanisme untuk mereformasi gereja dalam hal kesalehan atau kekudusan.
Istilah Pietisme berasal dari sebuah kata Latin, yaitu ‘pius, pietas, pietatis’ yang dapat berarti ‘saleh’. Namun istilah Latin ini luas dan mencakup a.l.: takut akan Allah, suci, penuh kasih, berbelaskasihan, setiawan, benar, namun juga bertanggung jawab, patriotik dan penuh kasih terhadap tanah air, jujur, berdedikasi, dapat diandalkan (Dietrich Kuhl: 1998). Istilah ini menunjukan bahwa Pietisme tidak mempunyai arti sempit seperti yang sering dikaitkan dengan kata ‘kesalehan’ tetapi lebih menunjuk kepada karakter seseorang sebagai tindakan aplikatif terhadap Firman Tuhan atau istilah Pietisme lebih dipakai untuk menunjukkan identitas orang-orang yang takut akan Tuhan dan mencintai firman-Nya. Dengan demikian, setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus secara sungguh-sungguh di dalam hidupnya menampakkan ciri-ciri yang khusus yakni hidup saleh/kudus. Saya tidak dapat mendefenisikan dengan sebuah kata secara tepat untuk menggambarkan mereka yang adalah orang Kristen (Percaya kepada Tuhan Yesus) tetapi tidak menampakkan ciri-ciri secara khusus dalam hidupnya. Namun yang saya ketahui adalah ketika seseorang menaruh kepercayaan dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan Yesus, hidupnya pasti berubah dari perilaku yang tidak sesuai Firman Tuhan menjadi saleh/kudus. Hal ini tidak berarti bahwa kesalehan atau kekudusan bisa dilakukan dengan mengandalkan kekuatan sendiri tetapi paling tidak ada usaha untuk mendisiplinkan diri atau melatih diri agar menjauhi larangan-larang Tuhan dan dengan tekun menjalankan perintah-perintah Tuhan.
Munculnya gerakan Pietisme disebabkan oleh berbagai faktor. Saya tidak mengungkapkan secara mendetail tentang faktor-faktor tersebut, saya hanya mengungkapkan sebagian kecil yang berhubungan dengan situasi yang terjadi belakangan ini untuk memperbandingkannya. Setelah reformasi Luther, terjadi kemerosotan ekonomi dan politik di kawasan Jerman khususnya bagian timur yang berakibat pada pengrusakan nilai-nilai moral karena perang tersebut. Perang antara Roma Katolik dan pendukung reformasi meninggalkan kesan buruk pada bidang ekonomi. Seorang ahli sejarah Gereja mencatat bahwa “Banyak desa yang musnah, rumah-rumah dan kebun dibakar, penyakit merajalela, uang kehilangan nilainya, standar kehidupan Pendeta sangat rendah, mimbar-mimbar gereja dipergunakan sebagai sarana menyampaikan peraturan atau dekrit pemerintah, dari 200 rumah terdapat 37 rumah di antaranya adalah rumah pelacuran, ada banyak orang yang hidup dalam kemabukan, banyak anak-anak yang miskin dan buta huruf (tempat bermain mereka adalah di selokan-selokan kotor dan timbunan-timbunan sampah).” Keadaan seperti ini sangat memprihatinkan sehingga perintis gerakan Pietisme menyatakan kerinduan untuk mengajak orang-orang bertobat dan mengalami kelahiran kembali. Mereka beranggapan bahwa kualitas hidup seseorang mengalami peningkatan ketika mengalami pertemuan dengan Tuhan Yesus secara pribadi. Dengan demikian prakarsa pietisme untuk menekankan tentang kesalehan merupakan kebutuhan jemaat dan sekaligus sebagai koreksi atau reaksi untuk mengisi kekosongan dan kebutuhan rohani jemaat.

2.       Gerakan Pietisme dalam hubungannya dengan Persekutuan Doa
Persekutuan Doa di lingkungan GMIT mengalami perkembangan secara signifikan pada 2 dekade terakhir. Sebelum dekade 1990-an, sudah banyak Persekutuan Doa yang bermunculan di beberapa tempat khususnya Kabupaten TTS, Kabupaten Kupang termasuk Pulau Rote, Pulau Sabu dan Pulau Semau yang berdampak pada munculnya beberapa denominasi Gereja Pentakosta dan Injili. Pada 2 dekade terakhir Persekutuan Doa diakomodir oleh GMIT dalam sebuah wadah guna mengadakan pembinaan terhadap para anggotanya.  Sebagai akibatnya Persekutuan Doa bermunculan di hampir semua wilayah  Kota Kupang dengan jumlah yang tidak sedikit (statistiknya masih dalam proses).  Para anggota menjalankan kegiatan Persekutuan tetapi adalah keangotaan dalam gereja resmi GMIT.
Munculnya Persekutuan Doa di beberapa tempat sangat berdampak pada kualitas iman, etik-moral dan solidaritas masyarakat secara luas. Dengan tidak bermaksud untuk merendahkan martabat orang-orang tertentu tetapi saya ingin mengungkapkan fakta tentang kemerosotan moral masyarakat Kristen di hampir seluruh tempat di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa Kekristenan perlu penyangkalan diri dan pertobatan secara sungguh-sungguh. Orang yang menyatakan diri Kristen bukan menjadi sebuah jaminan bahwa hidupnya sudah menjadi baik dalam pengertian moralistis. Menjadi Kristen semestinya dibarengi dengan tindakan untuk meninggalkan cara hidup duniawi yang disebut dengan bertobat (berpaling dari dosa, menyesalinya dan hidup bergantung kepada pimpinan Tuhan). Pola yang dihidupi oleh anggota Persekutuan Doa memiliki moralitas sesuai Firman Tuhan ditunjukan melalui belajar Firman Tuhan dan berusaha mengaplikasikannya. Tetapi para anggota sering kali mengisolir diri dan tidak terkontaminasi dengan dunia luar karena dianggap bisa merusak iman. Sikap seperti ini  menjadi sorotan masyarakat sebagai sebuah kesombongan rohani dan dijadikan sindiran. Fenomena ini menunjukkan kesamaan antara Persekutuan Doa dan Gerakan Pietisme.

Sumbangsih Pietisme dalam Perkembangan Gereja
Gagasan Pietisme tertuang dalam buku karangan Spener “Pia Desideria” yaitu:
1.       Kecaman terhadap Masyarakat Kristen yang mendatangkan batu sandungan dengan mendatangkan dosa terhadap orang lain. Spener menyatakan bahwa setiap orang Kristen menunjukan sikap yang harus sesuai firman Tuhan.
2.       Reformasi gereja secara institusional. Spener ingin mengembalikan aktifitas gereja dengan menyatakan bahwa “Firman Allah bermanfaat untuk kehidupan manusia, tidak membedakan kaum awam dan rohaniawan, iman yang disertai perbuatan, otoritas firman Tuhan yang  mampu menyelamatkan semua orang, penekanan pada sikap hidup yang saleh, dan kelahiran kembali semua orang percaya”. Gagasan Pietisme secara terinci mencakup 6 hal yakni:
a.       Firman Tuhan harus digunakan secara ekstensif dalam pengertian bahwa bagian Firman Tuhan harus dikhotbahkan secara seimbang dan mengajarkan jemaat untuk hidup sesuai firman Tuhan.
b.      Setiap orang Kristen adalah imam yang ditunjukan Kristus menjadi saksi-Nya dalam hal memberitakan Firman. Semua orang percaya dapat menyampaikan firman Tuhan.
c.       Pengetahuan iman saja tidak cukup tetapi harus diwujudkan dalam praktek setiap hari melalui kasih kepada sesama dan kasih kepada Allah.
d.      Jemaat diwajibkan untuk sungguh-sungguh dalam doa dan sikap yang baik terhadap orang lain untuk membawa orang lain dalam pertobatan yang sungguh-sungguh.
e.      Menganjurkan jemaat untuk hidup dalam kesalehan sebagai buah dari karya Roh Kudus. Untuk itu semua orang tidak ada perbedaan status rohani. Semua dapat belajar bersama-sama untuk saling membangun dalam iman.
f.        Semua kegiatan dalam pelayanan mengarahkan kepada pemenuhan kebutuhan batin seseorang demikian juga ibadah jemaat mengarah kepada ibadah yang batiniah bukan sekedar rutinitas.
Beberapa sumbangsih Pietisme bagi perkembangan kekristenan dapat kita lihat dari perkembangan selanjutnya.  Gagasan Spener dikembangkan oleh muridnya yang bernama Francke. Francke membuka  kelas Pendalaman Alkitab dan mengajarkan Firman Tuhan secara sistematis-periodik. Ia juga menyusun kurikulum pendidikan mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi yang menekankan kesalehan. Menurutnya Guru-guru Kristen wajib menjadi teladan dalam hal moral bagi anak didik. Zinzendorf seorang anak bangsawan Austria bertobat pada usia 4 tahun dan memulai hidup dengan sungguh-sungguh. Setelah ia menikah dengan Erdmuthe Dorothea, mereka bergabung dengan Pietist dan menyediakan sebuah tempat untuk menampung orang-orang Bohemia yang teraniaya dan mempersiapkan mereka menjadi utusan Injil ke luar Eropa.  Antara tahun 1741 – 1760, Zinzendorf mengutus 227 misionaris sampai ke ujung bumi. Beberapa misionaris yang datang ke Indonesia diantaranya Joseph Kam (Maluku), I.L. Nommensen (Batak), A.C. Kruyt (Poso) adalah hasil didikan Pietisme.

Apa yang Dilakukan oleh Persekutuan Doa?
Persekutuan Doa belum menunjukan pengaruhnya dalam perkembangan gereja. Namun, bukan berarti bahwa hal ini tidak dapat dilakukan oleh Persekutuan Doa. Persekutuan Doa memiliki kekuatan keanggotaan yang cukup untuk mengembangkan pelayanan yang berdampak lebih luas. Seperti yang telah diungkapkan di awal bahwa Persekutuan Doa belum mendapat pengakuan secara luas dan tidak terorganisir dengan baik. Karena itu Persekutuan Doa belum mengembangkan pelayanan yang secara sinergis dapat berpengaruh terhadap gereja.
Pada umumnya anggota Persekutuan Doa adalah mereka yang tidak diperlengkapi secara khusus dengan pendidikan Teologi sehingga pelayanan hanya terfokus pada Pendalaman Alkitab tidak lebih dari itu. Pemberitaan Firman juga dilakukan oleh Kaum Awam (anggota Persekutuan yang dianggap dewasa rohani). Pembinan terhadap anggota juga masih minim sehingga penekanan pada hal batiniah lebih menonjol bukan tertuju kepada kontribusi kepada persekutuan secara luas. Hal-hal inilah yang bisa dibenahi secara internal demi mengembangkan pelayanan yang dapat dirasakan oleh tubuh Kristus pada umumnya.
Kiranya tulisan ini bermanfaat kepada Gereja dan Persekutuan Doa di lingkup Gereja Masehi Injili di Timor.

Apri Laiskodat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONTEKSTUALISASI

AGAMA SUKU

TANGGAPAN TERHADAP "ANAK KUNCI ISRAEL YANG HILANG DI MALUKU"