KONTEKSTUALISASI
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah
“Kontekstualisasi” adalah istilah yang dipakai dalam bidang Misi. Istilah ini
menjadi populer setelah Misi mengalami perkembangan secara luas. Setiap orang
yang memberitakan Injil berusaha menyajikan berita Injil dengan istilah-istilah
yang dapat dipahami dan menarik perhatian pendengarnya. Dengan demikian,
seorang pemberita Injil menghadapi persoalan yang serius, ia berusaha untuk memahami
Injil, dan mengkomunikasikan Injil kepada orang lain untuk dapat dimengerti
sesuai situasi pendengar. Istilah yang tepat untuk mendefinisikan usaha
Pemberita Injil dalam berbagai situasi adalah kontekstualisasi.
Mata
Kuliah Teologi Kontekstual juga merupakan Mata Kuliah yang baru ditambahkan dalam
kurikulum pendidikan teologi. Namun demikian pemusatan perhatian kepada
kontekstualisasi sangat berdampak positif pada perkembangan gereja. Karena itu,
sekiranya dengan memperhatikan kontekstualisasi secara khusus diharapkan gereja
akan mengalami perkembangan secara kualitatif dan kuantitatif.
A. Memahami
“Teologi Kontekstual” dalam Tataran Ilmiah
1.
Makna
Teologi
Istilah
Teologi (Theology) berasal dari
bahasa Yunani “theo-logia” yang akar
katanya ialah theos (God) dan logos (discourse).[1]
Teologi selanjutnya secara sempit dapat dijelaskan sebagai “Suatu diskursus
atau percakapan tentang Allah, atau percakapan mengenai yang ilahi”.[2]
Apabila seseorang berpikir tentang “Yang Ilahi” serta mempercakapkannya, maka
ini dapat dikatakan sebagai teologi karena ia sedang meramu pikiran atau ide
menjadi sebuah konsep. Lebih luas Teologi telah dipahami sebagai pengajaran
tentang Allah sehingga Teologi digolongkan sebagai sebuah bidang ilmu yang
menaungi bidang studi agama lainnya.
2.
Teologi
sebagai Ilmu
Apabila
teologia disebut ilmu, maka maknanya ialah bahwa teologi memenuhi persyaratan
atau kriteria untuk disebut sebagai ilmu.[3]
Persyaratan atau kriteria untuk dimasukan sebagai salah satu bidang ilmu untuk
dipelajari adalah:
a.
Memiliki
sifat dan asumsi sebagai ilmu
Sifat
dan asumsi suatu ilmu menyentuh faktor-faktor mendasar antara lain:
Satu,
Teologi sebagai ilmu memiliki kadar empiris
artinya objeknya dapat diobservasi atau diteliti serta diuji melalui segala
bentuk proses penelitian.
Dua,
sifat dari pencapaian kebenaran sebuah ilmu adalah relatif yang menjelaskan
bahwa kebenaran ilmiah suatu ilmu adalah sebatas ilmu itu sendiri. Artinya,
dalil dari suatu ilmu tidak dapat diterapkan secara umum ataupun acak kepada
ilmu lainnya.
Tiga,
hakekat ilmu dibangun di atas proposisi
(sebab-akibat) empirik yang teruji.
Fakta dasar bagi penemuan proposisi dimaksud dapat diuji secara aktual.
Empat,
asumsi ilmu dibangun di atas “belief
system” (sistem kepercayaan) yang dilandaskan pada ADA atau KEBERADAAN
sesuatu. Ada atau keberadaan sesuatu itu adalah berupa fenomena yang dapat
ditangkap oleh indera dan dilandaskan atas kepercayaan akan kemampuan indera
menangkap fenomena tersebut.[4]
b.
Memiliki
komponen, ciri, dan aspek sebagai ilmu
1) Komponen Ilmu
Pada dasarnya ilmu memiliki
komponen-komponen sebagai berikut:
Satu, dalam ilmu ada fenomena atau gejala, atau kejadian yang bersifat inderawi dan non-inderawi.
Dua, dalam ilmu terdapat konsep. Konsep ini adalah simbol dari
setiap fenomena.
Tiga, dalam ilmu ditemukan fakta yang dapat disebut dengan data. Fakta atau data ini adalah
hubungan fenomena dan konsep yang telah dibuktikan secara impiris.
Empat, dalam ilmu ada teori. Teori adalah pendapat yang
didasarkan pada penelitian, penemuan atau pengalaman yang didukung oleh data
dan argumentasi.[5]
Teori berperan sebagai dasar untuk memahami, menjelaskan dan meramalkan setiap
fenomena.[6]
2) Ciri Ilmu
Ciri-ciri
dari ilmu dapat menyentuh aspek-aspek khusus yaitu:
Satu,
ilmu memiliki objek dan ini
menunjukan bahwa hakikat, sifat dan batasan dari objek ilmu adalah jelas.
Dua,
ilmu memiliki metode ilmiah yang
digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat ilmiah.
Tiga,
ilmu memiliki sistem. Sistem ilmu
bertujuan untuk menyiapkan suatu kerangka yang menata pengertian dan
bahagian-bahagian yang juga berperan untuk menyusunnya secara benar.[7]
3) Aspek Ilmu
Ilmu
memiliki aspek-aspek dasar yang khas. Aspek-aspek dasar yang dimaksud adalah:
Satu,
aspek ontologis. Aspek ontologis ini berbicata tentang “apa” yang
menyangkut pada hakekat atau keberadaan dari sesuatu yang dibangun di atas
pengalaman manusia dan dapat diobservasi.
Dua,
aspek epistemologis. Aspek epistemologis menjelaskan tentang
“bagaimana” yang berkaitan dengan cara mengetahui. Cara mengetahui ini dibangun
di atas suatu metodologi ilmiah.
Tiga,
aspek aksiologis. Aspek aksiologis menjawab pertanyaan “untuk apa”
yaitu yang berkaitan dengan faktor kegunaan atau unsur prakmatis yang dapat
menjawab kebutuhan manusia.[8]
c.
Memiliki
nilai kebenaran yang dapat diukur sebagai ilmu
Sifat-sifat
dari kebenaran ilmu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Satu,
kebenaran ilmu memiliki sifat yang koheren
(berhubungan). Sifat koheren dari kebenaran ilmu berkaitan dengan
penemuan-penemuan dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah ada terlebih
dahulu.
Dua,
kebenaran ilmu memiliki sifat yang koresponden
yang menegaskan tentang adanya kesesuaian antara pengetahuan dan objek yang
teruji dengan kebenaran hipotesis yang dihasilkan dari pengujian tersebut.
Tiga,
kebenaran ilmu memiliki sifat yang prakmatis
yang membawa kegunaan praktis secara luas.[9]
Dengan
memperhatikan uraian di atas maka terlihat adanya hubungan antara teologi dan
filsafat. Hubungan ini terlihat dari kedudukan teologi sebagai ilmu karena
teologi memiliki sifat dan asumsi ilmu dengan komponen, ciri, aspek serta
kebenaran ilmuan yang jelas. Kebenaran tentang teologi sebagai ilmu menegaskan
bahwa pendekatan iman terhadap teologi tidaklah bertentangan dengan faktor empiris sebagai dasar bagi ilmu (band.
Luk. 1:1-4).
3.
Kontekstualisasi
dalam Tataran Ilmiah
Pembahasan
di atas menegaskan bahwa teologi memiliki legitimasi
yang menempatkannya sebagai ilmu. Legitimasi
ini memberikan penekanan khusus bahwa pendekatan keilmuan atas pemikiran “Kontekstualisasi” yang memenuhi tuntutan
ilmu dari tataran empiris dapat
memberikan pertanggungjawaban secara objektif. Pada sisi yang lain, teologi
dilandaskan pada pendekatan subjektif terhadap Alkitab yang adalah Firman Allah
sebagai sumber utama dari teologi itu. Karena itu, Kontekstualisasi berada pada premis bahwa “Allah berbicara kepada
manusia dalam konteks yang dapat diterima
oleh manusia”. Untuk lebih jelasnya dari kebenaran yang telah diungkapkan di
sini akan kita pelajari pada landasan Alkitab tentang kontekstualisasi.
B. Istilah-Istilah
dalam Kontekstualisasi dan Definisinya
Istilah
“Kontekstualisasi” baru ditambahkan
pada bidang misi dan teologi oleh Theological
Education Fund (TEF) pada tahun 1972. Namun, para Misionaris menyadari
bahwa ide “Kontekstualisasi” sudah
ada jauh sebelunya yaitu terdapat di dalam Alkitab.[10] Ada
beberapa istilah yang berkaitan dengan kontekstualisasi antara lain:
1.
Kontekstualisasi
Yakob
Tomatala mendefinisikan kata “Kontekstualisasi”
sebagai berikut:
Kata “Kontekstualisasi” (Contextualisation) berasal dari kata
‘konteks’ (Context) yang diangkat
dari kata Latin “Contextere” yang
berarti menenun atau menghubungkan bersama (menjadikan satu). Kata benda “Contextus” menunjuk kepada apa yang
telah ditenun (tertenun), di mana semuanya telah dihubung-hubungkan secara
keseluruhan menjadi satu.[11]
Pengertian
ini menjelaskan bahwa berbicara tentang Kontekstualisasi
perhatian ditujukan kepada dua atau lebih komponen yang disatukan atau dengan
kata lain “Kontekstualisasi”
berbicata tentang penyatuan beberapa komponen. Untuk memahami istilah ini perlu
memahami juga dua istilah yang saling berhubungan yaitu TEKS[12]
dan KONTEKS[13].
Secara sederhana konteks adalah suatu
kesatuan atau kumpulan kalimat dimana di dalamnya terdapat teks.[14]
Untuk pengertian ini, setiap teks
dapat dimengerti secara tepat dalam hubungan dengan konteksnya. Di samping itu, penggunaan istilah konteks juga menjelaskan tentang sejarah suatu situasi sehingga
untuk pemahaman yang jelas, penggunaan istilah konteks haruslah ditempatkan pada arti yang tepat untuk menjelaskan
maksud secara tepat pula.[15]
Untuk menghubungkan istilah kontekstualisasi
dengan pemberitaan Injil, Yakob Tomatala menggunakan sebuah istilah yang lain
yaitu kontekstualitas (Contextuality) yang artinya menjelaskan
“suatu penafsiran yang bersifat kritis” atas apa yang memberi arti kepada konteks yang dilihat dari sudut
rancangan Misi Allah yang utuh.[16]
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa “Kontekstualisasi” adalah konsep usaha memahami konteks kehidupan manusia secara luas dalam dimensi budaya, agama,
sosial, ekonomi, dan politik dalam hubungannya dengan situasi menyeluruh dengan
tujuan agar pemberitaan Injil dapat dilakukan dengan baik dan dipahami secara
tepat oleh setiap orang yang hidup dalam konteks
tersebut.
Sebuah
pemahaman yang sederhana mengenai “Kontekstualisasi”
yang dikemukakan oleh Th. Kobong adalah sebagai berikut:
Kalau kita mendengarkan
injil Yesus Kristus yang diberitakan kepada kita, lalu kita berusaha
mengertinya dengan cara kita merasa, berpikir dan bertindak yang dibentuk dan
ditentukan oleh adat istiadat dan kebudayaan kita, lalu hasil penghayatan itu
kemudian kita tuangkan dalam bentuk-bentuk yang dapat kita pahami dan hayati,
maka kita sudah terlibat dalam usaha kontekstualisasi.[17]
Apa
yang dinyatakan oleh Kobong pada kutipan di atas memberi penekanan pada usaha
penghayatan Injil yang bersentuhan dengan kondisi penerima Injil tetapi juga
dipengaruhi oleh siapa yang memberitakannya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa sadar atau tidak seseorang dalam menghayati Injil dapat dikategorikan
dalam usaha kontekstualisasi.[18]
Diskusi:
Apakah
ada kemungkinan terjadi perbedaan penafsiran terhadap Injil oleh orang yang
berbeda dalam situasi yang berbeda?
Mengapa?
2.
Enkulturasi
Arti
secara harafiah dari istilah ”enkulturasi”
adalah pembudayaan (Proses dari segala sosial budaya menjadi suatu adat atau
pranata yang baku).[19] Enkulturasi lebih menitikberatkan pada
perubahan budaya yang terjadi di dalam budaya itu sendiri. Kebalikan dari
istilah ini adalah ‘akulturasi’ yang
artinya “Proses masuknya budaya asing dalam suatu masyarakat sehingga menyerap
secara selektif sedikit atau banyak unsur budaya tersebut dan sebagian menolak
budaya itu.[20]
Berkaitan dengan kontekstualisasi, “Enkulturasi”
artinya suatu proses yang menggabungkan prinsip teologis tentang penjelmaan
dengan konsep ilmu sosial tentang akulturasi
(menyesuaikan diri dengan suatu budaya).[21]
Terjadinya perubahan budaya tertentu karena proses asimilasi (percampuran) 2
atau lebih budaya dalam dunia sosial disebutkan dengan istilah ‘akulturasi’. Proses ini akan terjadi dan
mungkin ada unsur-unsur tertentu yang dibuang sedangkan pada kontekstualisasi
istilah yang dipakai adalah ‘enkulturasi’.
Proses asimilasi terhadap budaya tertentu di mana nilai injil tetap
dipertahankan sehingga tidak melemahkan arti yang sebenarnya.
3.
Indigenisasi
Ø Definisi Indigenisasi
Kata
Indigenisasi berasal dari kata indigenous
yang diterjemahkan sebagai ‘pribumi’, berpijak pada teori indigenesasi yang dikembangkan oleh Rufus Anderson dan Henry Venn
yang populer dengan istilah “tiga diri” (three
self) – self-governing, self-supporting, dan self-propagating.[22]
Yakob Tomatala mempetegas pandangan ini dengan menghubungkan istilah indigenisasi dengan teologi, dengan
menyatakan bahwa, “Teologi dilakukan oleh dan untuk suatu wilayah geografis
tertentu oleh warga setempat untuk wilayah mereka ketimbang oleh orang luar”.[23]
Jadi, istilah indigenisasi lebih
diartikan sebagai kemandirian orang-orang pribumi dalam mengekspresikan
pemahamannya tentang Allah. Istilah yang sering digunakan dalam konteks ini
adalah ‘pempribumian’ yang didefinisikan oleh Norman E. Thomas sebagai, “Sebuah
prinsip dan proses yang terpadu dengan sifat dan peran teologi Kristen”.[24]
Proses terpadu yang dimaksudkan adalah bagaimana orang-orang pribumi dapat
menyatakan kemampuannya sebagai ekspresi teologis berdasarkan istilah ‘tiga
diri’ yang dikemukakan oleh Rufus Anderson dan Henry Venn untuk mengkomunikasikan
injil.
Ø Prinsip-prinsip Indigenisasi
Dalam
mengekspresikan teologi berdasarkan konteks orang-orang pribumi, Norman
menyatakkan bahwa ada dua prinsip dasar peran teologi Kristen yaitu: Pertama, membentangkan secara gamblang
berita Kristen yang telah dinyatakan, dan Kedua,
penafsiran dari pesan Injil dilakukan secara menantang dan relevan bagi
masing-masing generasi.[25]
Rumusan ini memberi pemahaman bahwa Injil mendapat tempat karena diberitakan
sesuai dengan budaya, kemudian memberdayakan orang-orang pribumi demi
kepentingan pemberitaan Injil di daerah atau wilayahnya. Jadi, pada prinsipnya
pempribumian terjadi karena gereja ada untuk memberitakan Injil serta
pemberitaan Injil dilakukan dalam bahasa dan konteks masyarakat secara
kontemporer.
Ø Batasan Indigenisasi
Indigenesasi
diperlukan untuk kemandirian orang-orang pribumi dalam mengekspresikan
pemahamannya tentang Allah dengan prinsip memberitakan Injil dalam konteks
bahasa dan budaya. Namun demikian perlu adanya sebuah batasan khusus untuk
menjaga nilai Injil tetap dipertahankan. Jika batasan ini tidak dilakukan maka
kemungkinan akan terjadi sinkritisme[26].
Untuk menjaga bahaya sinkritisme
David J. Hesselgrave menyatakkan bahwa:
Dalam memberitakan Injil, …
harus menggunakan bentuk-bentuk budaya yang cocok untuk pelayanan Kristus asal
saja Injil itu tidak disangkal. Bila ini tidak dilakukan ada kemungkinan bahwa
hanya lapisan-lapisan permukaan budaya yang akan diubah, bukan lapisan-lapisan
yang dalam. Namun karena dalam kontekstualisasi … selalu menggunakan
bentuk-bentuk linguistik dan budaya pribumi, maka upaya ini selalu mengandung
resiko, maka akan terjadi sinkritisme budaya dan agama.[27]
Kutipan
ini menjelaskan tentang bahaya kontekstualisasi yang memberikan kebebasan
kepada orang-orang pribumi (indigenous)
mengekspresikan pemahamannya tentang Allah dalam konteks budayanya sendiri.
Namun demikian hal ini penting dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada
Injil dapat bertumbuh dan dihayati oleh masyarakat pribumi. Hesselgrave
menegaskan bahwa, “Bila kontekstualisasi tidak dilakukan, teologi tidak akan
menjadi relevan; … bila kontekstualisasi dilakukan dengan terlalu bersemangat,
maka akan terjadi kompromi dan sinkritisme”.[28]
Solusinya adalah Thomas memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
a) Hal-hal yang
bertentangan dengan keyakinan dan moral, seperti penyembahan berhala, magi,
penguburan manusia; b) hal-hal yang memang baik seperti tata berpakaian yang
terhormat, pembagian antara jenis kelamin yang cermat; c) hal-hal yang sifatnya
sipil dengan demikian tidak menyentuh keyakinan dan moral dalam cara apapun,
mis. gaya hidup, etiket dll.; d) hal-hal yang tidak bermasalah – sejak dulu
maupun sekarang – tetapi yang didukung oleh agama kafir atau mendapat sifat
takhyul, seperti sistem kasta dan jalinan brahmana; e) hal-hal yang tidak
bermasalah, tetapi yang bertentangan dengan disiplin gereja, mengenakan tutup
kepala dalam liturgi.[29]
Kutipan
ini memberikan gambaran bahwa Injil berperan untuk mengembangkan hal-hal yang
baik dan menekan hal-hal yang buruk dalam sebuah konteks budaya. Namun,
kebiasan yang bersifat ritual yang berkaitan dengan agama kafir, Injil berperan
untuk mengarahkan kepada ritual atau penyembahan kepada Allah Yang Hidup yang
merupakan focus dari Injil. Dengan demikian, satu-satunya solusi untuk
meghindari bahaya sinkritisme adalah indigenisasi dibatasi, dalam pengertian
bahwa apapun yang diekspresikan untuk memahami Allah dalam konteks budaya
pribumi tetap pada pengakuan bahwa Injil memiliki kewibawaan yang lebih tinggi
dari budaya. Injillah yang menjadi tolak ukur dari sebuah indigenisasi.
BAB II
LANDASAN ALKITAB TENTANG
KONTEKSTUALISASI
Dasar
teologis terhadap “Kontekstualisasi” dapat dilihat masing-masing menurut
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
A. Kontekstualisasi
dalam Perjanjian Lama
Kontekstualisasi
dalam Perjanjian Lama merupakan dasar penting bagi kontekstualisasi Alkitab
secara menyeluruh. Untuk memahami kontekstualisasi dalam Alkitab perlu disadari
bahwa dasar utama kontekstualisasi adalah dalam Perjanjian Lama. Perjanjian
Baru hanya merupakan kelanjutan saja dari sebuah kontekstualisasi yang
alkitabiah. Untuk pemahaman yang lebih lengkap tentang kontekstualisasi dalam
Perjanjian Lama, perlu untuk melihatnya dalam 3 pokok penting:
1. Dasar Kontekstualisasi
adalah Pernyataan Diri Allah dalam Penciptaan
Kej.
1 dimulai dengan Allah menyatakan diri-Nya sebagai Pencipta. Dapat dilihat
bahwa Allah mengambil inisiatif pertama dalam penyataan diri-Nya kepada dunia.
Di sini terdapat tekanan utama yaitu bahwa Allah sebagai penggerak utama kontekstualisasi.[30] Sehingga
dapat dikatakan bahwa teologi kontekstualisasi yang benar adalah dimulai dari
diri Allah sendiri. Selanjutnya, Allah sebagai Pencipta telah menciptakan
manusia dengan kreatifitas untuk berbudaya yang dalam kerangka budayanya manusia
balik memandang kepada Allah. Di sini terdapat suatu dialektik unik yang
menghubungkan Allah sebagai Pencipta di satu pihak dan manusia pada pihak yang
lain, yang menerima pernyataan diri Allah melalui filter budaya.[31]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam “Kontekstualisasi” budaya berfungsi
sebagai sentral perjumpaan (komunikasi) antara Allah dan manusia. Allah
menggunakan kemampuan yang diberikan kepada manusia (budaya) untuk menyatakan
maksud-Nya dan manusia dapat memahami serta berinteraksi dengan Allah melalui
sesuatu yang ada pada dirinya.
Untuk
pemahaman yang lebih jelas lagi bisa melihat melalui beberapa fakta dalam
Alkitab;
Kel. 20:1
“Lalu Allah mengucapkan segala firman ini”:
Yes.
45:3-6.
Aku akan memberikan
kepadamu harta benda yang terpendam dan harta kekayaan yang tersembunyi, supaya
engkau tahu, bahwa Akulah TUHAN, Allah Israel, yang memanggil engkau dengan
namamu. Oleh karena hamba-Ku Yakub dan Israel, pilihan-Ku, maka Aku memanggil engkau
dengan namamu, menggelari engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku. Akulah
TUHAN dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah
mempersenjatai engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku, supaya orang tahu
dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain di luar
Aku. Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain,
Firman
ini dapat dimengerti dan terus menjadi penghayatan sepanjang sejarah bangsa
Israel. Hal ini dapat disimpulkan bahwa proses kontekstualisasi itu terjadi
melalui inkarnasi firman dalam budaya dan interaksi manusia dalam budaya
terhadap Firman.
2. Perwujudan Kontekstualisasi
adalah Mandat Budaya
Mandat
budaya terdapat dalam Kej. 1:28-30. Dalam mandat ini terdapat wewenang yang
manusia terima dari Allah untuk berbudaya, memenuhi dan menguasai dunia. Untuk
menjalankan mandat ini manusia mempergunakan segala kemampuannya. Sekalipun
demikian sebagai pemberi mandat, Allah memiliki kewenangan mutlak untuk
mengontrol sehingga di luar kontrol ini tidak akan ada berteologi dalam konteks
yang absah alktabiah. Yakob Tomatala memberi penegasan bahwa, “Berteologi dalam
konteks hanya terjadi bila ada hubungan intim Allah dan manusia (dalam
pengertian sekarang manusia yang telah ditebus)”.[32]
Persoalan serius yang dialami oleh manusia adalah kebudayaan saat ini dihasilkan oleh manusia yang telah berdosa
sehingga ada unsur-unsur budaya yang telah berkontaminasi dengan dosa. Karena
itu untuk membangun teologi yang benar-benar alkitabiah harus didasarkan pada
pewahyuan Allah dalam firman-Nya.
Yakob
Tomatala memberi gambaran yang tegas mengenai hal ini dengan menyatakkan bahwa:
Kreativitas manusia tetap
ada, walaupun sudah berdosa. Pada sisi ini jelas terlihat bahwa kreativitas
manusia itu bertanggung jawab atas pengembangan budaya pada umumnya. Sedangkan
secara moral, kreatif dan hasil kreasi dapat melayani tujuan dosa (bagi mereka
yang belum menerima pernyataan diri Allah) dan melayani tujuan kebenaran (bagi
mereka yang di dalam Tuhan).[33]
Hal
ini membuktikan bahwa tidak semua unsur-unsur budaya dipakai untuk menyatakan
maksud Allah. Ada beberapa unsur-unsur budaya yang perlu ditransformasikan oleh
Injil (bandingkan dengan pernyataan David J. Hesselgrave pada penjelasan indigenesasi). Dapat dikatakan bahwa,
sekalipun perwujudan kontekstualisasi adalah melalui “Mandat Budaya” tetapi
perlu diingat bahwa perwujudan kontekstualisasi melalui budaya sering kali hanya
berlaku secara temporal. Penekanannya adalah kebenaran Firman Tuhan tetap
relevan dan berlaku secara universal (mutlak untuk semua pada situasi dan
kondisi apapun), tetapi ekspresi kontekstual hanya dapat dimengerti oleh mereka
yang hidup dalam konteks dimaksud.
3. Dinamika Kontekstualisasi
adalah Perjanjian Berkat Allah
Setelah
Allah menciptakan segala sesuatu, Allah mengadakan sebuah perjanjian. Isi dari
perjanjian itu adalah perjanjian tentang berkat Allah, Kej. 1:28; 2:3. Untuk
menikmati berkat Allah sesuai dengan isi perjanjian itu, ada syarat yang harus
dipenuhi oleh manusia yaitu TAAT secara mutlak kepada ketetapan Allah. Jadi,
untuk menikmati berkat Allah sesuai isi perjanjian Allah dan manusia, manusia
dituntut untuk taat. Artinya, jika manusia TAAT kepada Allah è ia akan diberkati, tetapi
sebaliknya jika tidak TAAT è ia akan dihukum. Fakta membuktikan bahwa
manusia tidak dapat memenuhi syarat dalam perjanjian itu. Namun demikian, semua
ciptaan Allah melukiskan tentang kemuliaan-Nya, Maz. 8:2-10. Yakob Tomatala menjelaskannya
bahwa, “Segala ciptaan Allah dalam setiap konteks sejarah-budaya suatu
masyarakat dapat merupakan jalan masuk bagi proses kontekstualisasi karena
‘berkat Allah’ kepada ciptaannya secara umum tetap berlaku, Mat. 5:45.”[34]
Allah tidak pernah membatalkan perjanjian-Nya dengan manusia tetapi
ketidaktaatan manusia mengaburkan perjanjian tersebut. Di sini Allah mengambil
inisiatif untuk mengadakan sebuah perjanjian yang baru (new covenant) yang khusus bagi jalan masuk kontekstualisasi yang
benar. Kej. 3:15, sebagai PROTOEVANGELIUM
(janji keselamatan Allah yang pertama), memberikan jaminan bahwa Allah sendiri
secara khusus yang menyiapkan pernyataan diri-Nya yang baru, yang olehnya
manusia dapat memahami Allah secara baru di tengah-tengah dominasi dosa.[35]
Inilah yang disebutkan dengan dinamika kontekstualisasi yang terlihat dari
rencana progresifitas Allah dalam memelihara karya-Nya di tengah-tengah
pergumulan yang dihadapi manusia berdosa yakni dengan menggenapi setiap rencana
Allah yang sejak semula telah diberitakan kepada manusia di Taman Eden, (band.
dengan Protoevangelium). Semuanya ini
jelas merujuk kepada pelaksanaan kontekstualisasi yang seharusnya terus
berkelanjutan untuk mewujudkan misi Kristus dalam melintasi segala jaman (dari
waktu ke waktu).
B. Kontekstualisasi
dalam Perjanjian Baru
Perjanjian
Baru merupakan kelanjutan dari kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama. Ada 2
pokok utama yang mewakili kontekstualisasi secara umum dalam Perjanjian Baru
yaitu:
1. Inkarnasi Yesus Kristus dalam
Konteks Budaya Yahudi
Inkarnasi
Yesus Kristus dalam konteks budaya Yahudi merupakan puncak perwujudan
kontekstualisasi Allah ke dalam budaya manusia. Dalam inkarnasi-Nya, manusia
dapat melihat Allah (Yo. 1:14,18). Topik ini akan dijelaskan lebih mendetail
melalui 2 bagian yaitu:
a.
Hakekat
inkarnasi
Inkarnasi
artinya menjadi daging atau menjadi manusia, Yo. 1:14. Logos yang menjadi
daging implikasinya mencakup “lahir ke dunia sebagai manusia”, “hidup dalam
sejarah manusia”, menjadi bagian dari konteks budaya manusia. Hal ini berarti
berpadu dengan hakekat manusia secara utuh. Pun demikian, inkarnasi Yesus dalam
budaya manusia bertujuan untuk menyatakan Allah kepada dunia, Yo. 1;18. Dengan
demikian inkarnasi Yesus memiliki tujuan misional
yang di dalamnya membuktikan bahwa Allah Yang Mahasempurna menyatakan kasih-Nya
yang tak terbayangkan. Di sini terlihat bahwa Kristus, dalam inkarnasi-Nya
mengambil seluruh aspek budaya manusia dan menggunakannya sebagai saran misi
untuk menyatakan maksud Allah.
Tuhan
Yesus juga menggunakan metode pendekatan yang kontekstual dalam menjawab
kebutuhan manusia di sekitar-Nya (perhatikan seluruh perumpamaan Tuhan Yesus).
Tuhan Yesus menggunakan terminologi pertanian (penabur, bibit, penuai, ladang,
dsb.) untuk menjelaskan kebenaran Allah kepada para petani. Ketika Ia
berhadapan dengan nelayan, Ia menggunakan bahasa yang dimengerti oleh para
nelayan seperti; pukat/jala, ikan, perahu, dsb. dari semua yang Tuhan Yesus
lakukan dalam dunia ini menandabuktikan bahwa inkarnasi mengacu kepada
pernyataan diri Allah yang dikenal dalam pola budaya dan terlihat melalui
interaksi dan refleksi peserta budaya yang terkait kepada inkarnasi itu
sendiri.[36]
b.
Inkarnasi
dan transformasi
Inkarnasi
Tuhan Yesus dalam konteks budaya manusia hanyalah sebatas mempergunakan budaya
sebagai instrumen dan kemudian
kekuatan/kuasa/power/otority, Ia mentrasformasikan budaya di mana Ia berada. Ajaran-ajaran
Tuhan Yesus mengandung dinamika transformasi yang pasti (Khotbah di bukit, Luk.
6:20-38; 11:2-4; 12:22-31; dll.). Ajaran Tuhan Yesus juga memberi transformasi
kepada semua lapisan masyarakat, mis.: (cendekiawan Nikodemus (Yo. 3), wanita
tunasusila dari Samaria (Yo. 4), kuasa salib memberi transformasi hidup kepada
seorang penjahat ‘kelas kakap’ (Luk. 23:34, 39-43). Jadi, inkarnasi bertujuan
untuk mentrasformasikan konteks budaya manusia yang rusak, dan transformasi
adalah isi inkarnasi. Dengan kata lain, tidak ada inkarnasi Kristus tanpa
transformasi yang secara dinamis membarui manusia dalam setiap konteks budaya
kepada Allah, (band. 2 Kor. 5:17).[37]
Sekalipun Injil menggunakan budaya sebagai wahana/sarana/instrumen tetapi tanpa
transformasi budaya maka hakekat Injil tidak dapat terserap oleh mereka yang
berkecimpung dalam budaya tersebut.
Inkarnasi
Yesus Kristus berisi transformasi dan kontekstualisasi yang benar ditandai oleh
transformasi Kristus dalam budaya. Tanpa transformasi akan muncul sinkritisme
dan sinkristisme tidak dapat membarui hidup orang yang di dalam konteks budaya
tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Yakob Tomatala bahwa, “Kontekstualisasi yang
benar terjadi dalam dua arah, ‘inkarnasi’ dan ‘refleksi’, yang dihubungkan
dengan transformasi Kristus, dan ini akan membawa dampak perubahan seimbang”.[38]
2. Kontekstualisasi Injil oleh
Rasul Paulus
Kontekstualisasi
Injil oleh Rasul Paulus dinyatakan dalam ajaran kenotis (pengosongan diri) Kristus, sikap hidup, serta pendekatan
kontekstualnya kepada setiap masyarakat yang didatanginya. Rasul Paulus
mengemukakan tentang kenotis Kristus
dalam Filp. 2:5-11 yakni Yesus Krsitus mengambil rupa manusia, menjadi hamba
dan solider utuh dengan manusia untuk menanggung dosa-dosa manusia. Dasar
penting untuk proses terjadinya kontekstualisasi melalui pengosongan diri.
Untuk masuk dalam budaya orang lain seseorang harus meninggalkan jati dirinya
untuk manunggal dengan orang lain. Perlu disadari bahwa identitas diri yang
menjadi latar belakang tidak dapat disangkal.
Dasar
kenotis Kristus menjadi pijakkan
utama Rasul Paulus dalam determinasi[39] kontekstual
yang dituangkan dalam 1 Kor. 9:16-27. Dari
sisi ini dapat ditemukan 2 makna yang berhubungan yaitu:
a. Kontekstual Etis
Sikap
etis menyangkut bagaimana seorang pelayan antarbudaya dapat menempatkan diri
untuk menghargai budaya orang lain sehingga tercipta refleksi teologi yang
positif. Sikap tersebut antara lain:
Ø Tidak menghakimi orang
dengan semena-mena (1 Kor. 4:1-5).
Ø Rendah hati (1 Kor.
4:6-21).
Ø Mengembangkan sikap untuk
tidak diperhamba oleh apapun juga (1 Kor. 6:12b).
Ø Mengembangkan sikap peka
terhadap orang lain (1 Kor. 8:1-13).
Ø Mengembangkan pergaulan
yang baik sebagai orang yang mengenal Allah (1 Kor. 15:33-34).
Ø Mengembangkan hubungan
kerja jemaat antargereja lokal dan antaretnis (1 Kor. 16:1-9).
b. Kontekstual Prakmatis
Sikap
kontekstual prakmatis menyangkut
sikap terhadap diri sendiri yang membawa kegunaan bagi pengembangan Injil dalam
konteks. Sikap ini dikembangkan oleh Rasul Paulus dengan cara:
Ø Melihat tugas pemberitaan
Injil sebagai tugas yang wajib tanpa ditawar-tawar (1 Kor. 9:16).
Ø Menetapkan sikap
inkarnasi-kenotis terhadap semua kelompok orang, dengan menjadi seperti orang
dalam, pada setiap konteks (1 Kor. 9:19-24). Sikap inkarnasi dimulai dengan
sikap hamba untuk menjadi segala-galanya bagi semua orang. Menjadi hamba untuk
melayani adalah dasar inkarnasi.
Ø Mengembangkan disiplin
faedah ganda – bagi diri dan orang lain, (1 Kor. 9:24-27).[40]
Dengan
memperhatikan setiap uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi
yang berdampak adalah menempatkan Kristus yang terutama dalam setiap pengajaran
yang tidak bisa dikompromikan tetapi dalam praksisnya, fleksibelitas terhadap
budaya perlu diperhatikan. Prinsi-prinsip ajaran Alkitab tidak dapat
dikompromikan tetapi dalam kontekstualisasi fleksibilitas pengajaran perlu
diperhatikan. Ini dilakukan dengan sebuah tujuan yang jelas bukan sekedar
fleksibel tanpa arah.
BAB III
RELASI ANTARA INJIL DAN KEBUDAYAAN
DALAM KONTEKSTUALISASI
Bagian
ini secara khusus memperbincangkan Injil Yesus Kristus yang diekspresikan dalam
terminologi budaya. Kenyataan ini dapat terlihat dalam ‘Amanat Agung Yesus
Kristus’ (Mat. 28:19-20; Mark. 16:15-20; Luk. 24-49; Yo. 20:21-23; Kis. 1:8).
Injil dalam operasinya sangat berhubungan dengan budaya dan konteks di mana
kelompok orang-orang suatu budaya berada. Secara khusus Kis. 1:8 berbicara
tentang dinamika kerja Injil dalam mekanisme budaya manusia. Berikut adalah
sebuah diagram yang menggambarkan dinamika kerja Injil dalam konteks budaya:
E1 E2 E3
Diagram
ini terlihat bagaimana Tuhan Yesus mengekspresikan dinamika kerja Injil yang
beroperasi “Lintas budaya” (Cross-cultural).
Tempat-tempat yang disinggung tidak sekedar berbicara tentang batas geografis,
tetapi lebih cenderung berbicara tentang batas/hubungan budaya.[41]
Yerusalem-Yudea adalah daerah yang saling berbatasan dan memiliki budaya yang
sama (E1), Yudea-Samaria adalah daerah yang diedintifikasi dengan E2 yakni
hubungan yang agak dekat yang budayanya sedikit berbeda dengan yang lainnya
sedangkan jarak Samaria-Ujung Bumi diidentifikasi dengan budaya yang jauh
berbeda.
Untuk
memahami lebih mendalam lagi tentang hubungan Injil dan budaya dalam
kontekstualisasi maka perlu untuk memperhatikan dua aspek penting:
A. Hakekat
Injil yang Satu dalam Budaya
Tekanan
utama yang akan diberikan adalah tentang hakekat kerja Injil yang satu terhadap
manusia dan konteks budaya yang utuh untuk melukiskan proses kontekstualisasi:
1. Manusia, Sasaran Injil
Tuhan
Yesus, dalam memproklamasikan tujuan kedatangan-Nya, menekankan bahwa Ia datang
untuk membebaskan manusia seutuhnya (holistik[42]),
Luk. 4:18-19; Yes. 61:1-2. Di sini dapat dikatakan bahwa sasaran injil adalah
manusia. Yakob Tomatala memberikan penegasan bahwa, “Apabila seseorang
diselamatkan maka Allah menyelamatkannya dalam semua aspek”.[43]
Seorang pemberita Injil seharusnya juga memiliki perhatian yang utuh untuk
menyentuh keseluruhan aspek manusia karena Injil dapat memberikan jawaban
terhadap seluruh aspek kehidupan manusia.[44] Mandat
budaya menekankan aspek sosial dari Injil sedangkan mandat Penginjilan
menekankan aspek rohani dari Injil. Keduanya tidak dapat dipisahkan, harus
dipandang secara proporsional.
2. Injil, Manusia dan
Konteksnya
Injil
adalah kekuatan Allah untuk menyelamatkan manusia, Ro. 1:16. Ketika manusia
diselamatkan maka ia akan bertanggung jawab untuk menjalankan amanat
Penginjilan yang di dalam konteksnya menjalankan mandat budaya dalam perspektif
yang baru sebagai manusia yang telah ditransformasikan. Seperti yang telah
diuraikan pada bagian terdahulu bahwa pemberitaan Injil dalam semua konteks
hidup manusia itu diwajibkan dan tidak dapat ditawar, namun selalu harus
dikaitkan dengan kehendak Allah yang kekal.[45]
Bila pendekatan ini diambil, maka akan terbuka jalan bagi proses
kontekstualisasi yang benar, yang melibatkan penyataan Allah oleh Injil di
dalam konteks dan respon/refleksi balik dari setiap orang yang telah mengalami
transformasi Injil tersebut.
B. Interaksi
Injil dalam Budaya
Interaksi
Injil dalam budaya terjadi dalam keseluruhan sistem budaya itu. Bila seseorang
percaya kepada injil, maka Injil mentransformasikan seluruh aspek hidupnya
dalam kerangkan yang utuh untuk budayanya sehingga ia tidak menjadi asing bagi
budayanya.[46]
Budaya
dapat diamati karena budaya adalah kreatifitas manusia. Contoh praktisnya;
“Pohon adalah ciptaan Allah tetapi kursi adalah hasil kreatif oleh budaya
manusia”. Ada 2 Bentuk budaya yaitu; 1) Budaya yang bersifat materi (ojeknya dapat
diamati, seperti; bentuk rumah, alat kerja, motif pakaian, dsb.) dan 2) Budaya
yang bersifat nonmateri (struktur masyarakat, struktur keluarga, bahasa, lagu
daerah, tarian-tarian, interaksi sosial, dsb.). sekalipun bentuk budaya ini
bersifat nonmateri tetapi objeknya juga dapat diamati.
Dalam
kontekstualisasi, seorang pemberita Injil harus belajar memahami bentuk budaya
serta arti dan fungsinya masing-masing. Ini bertujuan untuk mengarahkan pemberita
Injil tersebut mendapat pemahaman tentang bagaimana seharusnya ia bertindak (dalam
budayanya sendiri) tetapi ia dapat dimengerti dan diterima oleh orang dalam
(sebuah konteks budaya yang lain). Perlu diingat bahwa terkadang Injil ditolak
bukan karena Injil itu tetapi karena sikap dari seorang pemberita Injil yang
tidak kontekstual.
Pelaksana
dari setiap budaya adalah manusia dalam konteksnya. Pola kerja budaya
menempatkan setiap pelaksana budaya dalam kerangka dan mekanisme kehidupan yang
dinamis (progres).[47] Pola
kerja budaya memberi daya dan arti hidup bagi peserta budaya, dan menunjukan
bagaimana proses enkulturasi terjadi adlam setiap budaya. Dengan enkulturasi
inilah setiap peserta budaya belajar untuk hidup dan melanjutkan hidup dalam
kerangka dan mekanisme budaya dimaksud.
C. Prinsip-prinsip
Penerapan Kerja Injil dalam konteks budaya
Beberapa
prinsip penting dari studi hubungan Injil dan konteks budaya adalah sebagai
berikut:
1. Injil akan selalu beroperasi
secara lintas budaya (cross cultural).
2. Jarak satu budaya ke budaya
lain sangat menentukan bagi dampak Injil.
3. Sasaran Injil adalah
manusia yang multidimensi (sebagai makluk rohani, sosial, ekonomi, dsb.), dan
Injl beroperasi dan mengadakan pembaharuan secara holistik.
4. Dalam memberitakan injil,
perlu membedakan antara:
a. Pembebasan Allah yang utuh
dan pemberitaan Injil yang utuh.
b. Kebutuhan akan keselamatan
(mutlak bagi semua kaum) dan kebutuhan yang aktual dalam konteks tertentu à dengan maksud untuk
menemukan pendekatan yang relevan.
c. Pemberitaan Injil adalah
anugerah Allah yang berbeda dengan perbuatan sosial seperti membagi sembako.
5. Injil akan selalu
beroperasi menjangkau manusia dalam kerangka dan mekanisme kerja budayanya.
Karena itu dalam memberitakan Injil hal-hal yang harus diperhatikan antara
lain:
a. Belajar untuk memahami
bentuk budaya (mengobserfasi budaya yang bersifat materi dan nonmateri).
b. Berusaha memahami pola
kerja budaya yang memberi daya dan arti hidup dengan memperhatikan faktor
enkulturasi dan akulturasi.
c. Mengembangkan pemahaman
atas proses pembentukan budaya guna menolong upaya fasilitasi injil.
BAB IV
TRANSFORMASI BUDAYA OLEH
INJIL
Pada
pembahasan terdahalu telah menyinggung tentang terjadinya transformasi dalam
sebuah budaya yang dilakukan oleh Injil melalui enkulturasi dan bukan
akulturasi sebab terjadinya sebuah transformasi dalam budaya tertentu melalui
akulturasi maka sangat berpotensi terjadinya sinkritisme. Terjadinya sebuah
transformasi adalah karena bentuk budaya yang sudah tidak relevan. Transformasi
juga terjadi karena keinginan untuk menghasil sebuah budaya yang baru dan yang
lebih baik dari bentuk budaya yang lama. Namun, transformasi tidak selamanya
menghasilkan yang baik ada juga hasil dari transformasi adalah menghasilkan
budaya yang lebih buruk dari budaya yang lama.
Transformasi
budaya oleh Injil bukan sebuah transformasi menurut keinginan orang-orang yang
ada dalam budaya dimaksud tetapi
transformasi ini adalah menyangkut “Usaha mengangkat kebudayaan ke tingkat
kebudayaan (pola hidup) yang sesuai dengan rencana dan kehendak Allah untuk
manusia yang terus menerus dikembangkan dan dihayati dalam hubungan dengan
Allah”.[48]
Dengan demikian, setiap transformasi budaya oleh Injil selalu mengangkat
kebudayaan itu ke tingkat yang lebih baik.
Di
bawah ini ada beberapa catatan di dalam Alkitab mengenai transformasi yang
dikerjakan oleh Firman Tuhan:
A. Transformasi
Kebudayaan dalam Perjanjian Lama
Israel
sebagai bangsa telah mengalami suatu transformasi kebudayaan, yaitu dari
pengembara ke kebudayan bangsa yang menetap. Sebagai bangsa pengembara, bangsa
Israel terbiasa dengan menggembalakan ternak, tetapi setelah mereka menetap di
tanah Kanaan maka kebudayaan sebagai pengembara akan mengalam perubahan.
1. Transformasi di Bidang
Pertanian
Bangsa
Israel setelah menetap di tanah Kanaan maka secara perlahan-lahan mereka
mengalami transformasi kebudayaan untuk memilih bidang pertanian untuk
pencarian sumber penghidupan. Perubahan ini juga akandapat dilihat dari
alat-alat pencarian sumber kehidupan. Bentuk-bentuk rumah juga mengalami perubahan
dari tenda menjadi rumah yang permanen. Pergantian cara hidup dan sumber
penghidupan tidak hanya merupakan perubahan, melainkan suatu trasformasi dalam
arti peningkatan kualitas hidup, karena mereka harus menyesuaikan cara hidup
dengan masyarakat yang berada pada tingkat kebudayaan yang lebih tinggi.
Menurut Kobong, “Kebudayaan dan agama merupakan kesatuan yang identik bahkan
tak terpisahkan. Transformasi di bidang pertanian ikut ditentukan oleh agama.”[49]
Hukum-hukum agama tentang batas-batas tanah diatur dan peraturan mengenai tahun
yobel untuk daerah pertanian mulai diterapkan oleh para imam.
2. Transformasi di Bidang
Teknik dan Sosial
Dengan
pemukiman yang menetap dan akibat dari kontak dengan bangsa-bangsa di Kanaan,
bangsa Israel belajar teknik-teknik pertanian untuk mengerjakan tanah,
mengelola hasil pertanian, transportasi, dan perdagangan. Ketrampilan mulai
berkembang menjadi industri yang sederhana kemudian terus berkembang. Dari
bangsa-bangsa di sekitar mereka, mereka belajar teknik mengerjakan besi untuk
dijadikan alat perang.
Semua
teknik yang berhubungan mempertahankan hidup dengan berbagai segi dipelajari
dan dikembangkan sehingga pada beberapa waktu kemudian bangsa Israel mendapat
sebuah pengakuan yang luas tentang kedaulatan Israel di bawah pemerintahan
raja-raja Israel (Daud, Salomo, dsb.). Akibat kemajuan di bidang teknik dan
ekonomi, maka kebiasaan-kebiasaan hidup mengalami perubahan antara lain:
perubahan menu dan cara memasak, perubahan cara bermukim dengan belajar untuk
membangun desa dan kota, dsb. akibatnya adalah hubungan masyarakat yang baru
harus dituangkan dalam peraturan-peraturan yang baru juga dan ini akan terus
berkembang dari waktu-ke waktu terus mengalami perubahan.[50]
3. Transformasi di Bidang
Sosio-agamawi
Sejak
awal ketika Allah memanggil Abraham, ia membangun mesbahnya dengan penuh
kesederhanaan di bawah pohon-pohon tarbantin di Mamre, (Kej. 13:18). Pada waktu
itu hanya segelintir orang saja yang beribadah di situ. Tetapi beberapa waktu
kemudian tempat itu menjadi pusat ibadah untuk seluruh bangsa Israel, (Yos.
24:25). Demikian juga dengan Yakub di Betel, pada waktu ia melarikan diri dari
pengejaran Esau dan pada malam setelah Yakub bermimpi, ia bangun dan mendirikan
sebuah tugu untuk menjadikan Allah sebagai Allahnya, (Kej. 28:10-22). Tempat
inilah yang dipilih oleh salomo untuk mendirikan bait Suci di Yerusalem di mana
menjadi pusat peribadatan Israel dengan bangunan yang sangat megah.
Di
bidang keagamaan, Bangsa Israel mengalami transformasi ke dalam bentuk yang
baru akibat dari sebuah perubahan yang tidak dapat terelakan. Bentuk-bentuk
keagamaan diambil alih tetapi diberikan isi yang baru. Iman kepada Allah
diungkapkan secara baru dalam situasi kehidupan yang baru akibat perubahan dan
peningkatan tingkat kebudayaan. Pun demikian transformasi keagamaan perlu
dilakukan untuk menekankan tentang Allah, YHWH satu-satunya secara mutlak untuk
disembah dengan proklamasi Hukum pertama “Jangan ada ilah lain di hadapan-Ku”.
Intoleransi kultus kemudian dituangkan dalam satu pilihan antara Allah, YHWH
dan allah-allah lain, (Yos. 24:15). Setelah bangsa Israel menetap di Kanaan
maka sudah terjadi transformasi di bidang keagamaan.
B. Transformasi
Kebudayaan dalam Perjanjian Baru
Transformasi
kebudayaan merupakan akibat atau hasil dari kontekstualisasi. Di mana Injil
memasuki suatu konteks (budaya) tertentu, dan akan terjadi perubahan-perubahan.
Dalam Perjanjian baru, secara khusus terdapat banyak hal praktis tentang
kontekstualisasi. Di sini hanya mengungkapkan beberapa contoh saja dan mencoba
menelusuri proses kontekstualisasi yang menghasilkan transformasi kebudayaan,
yakni Injil memasuki konteks budaya yang mengakibatkan pergeseran nilai, sikap,
dan bentuk-bentuk baru. Beberapa contoh yang akan dikemukakan bisa diperhatikan
dengan metode Hermeneutik.
1. 1 Kor. 11:2-16
.
2. Kis. 14:8-20
.
3. Kis. 17:16-31
.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
dan Catatan
.
DAFTAR PUSTAKA
Anton
Wessels
2001 Memandang Wajah Yesus dalam Berbagai Budaya, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia
David
J. Bosch
2005 Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan
Berubah, (Jakarta: BPK Gunung mulia)
David
J. Hesselgrave
2004 Kontekstualisasi: Magna, Metode dan Model, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia)
Ichwei
G. Indra
2001 Perjumpaan Iman Kristen dan Kebudayaan, (Bandung: Lembaga Literatur
Baptis)
Norman
E. Thomas
2001 Teks-Teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia)
Robert
J. Schreiter
2001 Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Th.
Kobong
1997 Iman dan Kebudayaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Yakob
Tomatala
2001 Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), (Malang: Gandum Mas)
2002 Penginjilan Masa Kini Jilid 1, (Malang: Gandum Mas)
2004 Yesus Kristus
Juruselamat Dunia, (Jakarta: YT Leadership Foundation)
[1]Yakob
Tomatala, Yesus Kristus Juruselamat Dunia, (Jakarta: YT Leadership
Foundations), 17.
[2]Ibid.
[3]Ibid.,
20.
[4]Ibid.,
21.
[5]Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka), 1444.
[6]Op.
Cit., 21.
[7]Ibid.,
22.
[8]Ibid.,
23.
[9]Ibid.,
24.
[10]Rahmiati,
Kontekstualisasi sebagai Sebuah Strategi,
(http//www.tripoid.members.org)
[11]Tomatala,
Penginjilan Masa Kini Jilid 1,
(Malang: Gandum Mas), 63.
[12]Arti
Teks dalam KBBI adalah n 1 a naskah
yang berupa kata-kata asli dari pengarang, b kutipan dari kitab suci berupa
pangkal ajaran atau alasan; c bahan tertulis untuk dasar memberikan ajaran. 2
wacana tertulis.
[13]Konteks
artinya bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah
kejelasan makna; 2 situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian, (Ibid.).
[14]Tomatala,
Penginjilan Masa Kini Jilid 1, (Loc.
Cit.).
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Th.
Kobong, Iman dan Kebudayaan,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia), 24.
[18]Teologi
hanya dapat disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kontekstual.
Alasannya adalah; karena teologi tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk
mempertemukan secara dialektik, kreatif dan esensial antara “teks dengan
konteks” antara pernyataan injil yang universal dengan kenyataan hidup yang
kontekstual.
[19]Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka), 214.
[20]Ibid.,
33.
[21]Norman
E. Tomas, Teks-Teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia), 297.
[22]Tomatala,
Teologi Kontekstualisasi, (Malang: Gandum Mas), 5.
[23]Ibid.
[24]Norman
E. Thomas, Loc. Cit., 249.
[25]Ibid.
[26]Sinkritisme
menurut KBBI adalah “penyeserasian
(penyesuaian, penyeimbangan) antara dua aliran.
[27]David
J. Hesselgrave, Kontekstualisasi: Makna,
Metode, dan Model, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 76.
[28]Ibid.
[29]Norman
E. Thomas, Loc. Cit., 302.
[30]Tomatala,
Tologi Kontekstualisasi, (Loc. Cit.),
12.
[31]Ibid.,
13.
[32]Ibid.,
15.
[33]Ibid.
[34]Ibid.,
16.
[35]Ibid.
[36]Ibid.,
24.
[37]Ibid.,
25.
[38]Ibid.
[39]Ketetapan
hati dalam menentukan untuk memenangkan sebanyak mungkin orang bagi Kristus.
Rasul Paulus memastikan dirinya untuk tidak kompromi tetapi memiliki tujuan
yang jelas terlihat dalam sikap seperti ini yang kontekstual.
[40]Op.
Cit., 28.
[41]Ibid.,
46.
[42]Kata
“Holistik” berarti berhubungan dengan sistem keseluruhan sebagai satu kesatuan
lebih dari sekedar kumpulan bagian. Gary T. Hipp mendefinisikannya sebagai
“Perpaduan antara kehidupan lahir batin yang seimbang dengan memadukan “Kaidah
Kencana”, mengacu kepada pengembangan masyarakat dan Amanat Agung Tuhan Yesus
serta kepada pemuridan untuk menjalankan tanggung jawab sebagai murid Kristus,
(Bandung: 2005, 105). Dengan demikian, Injil dapat menyetuh secara utuh
kehidupan manusia untuk menghasilkan kehidupan yang seimbang antara
kesejahteraan jasmani dan kesejahteraan rohani, (Skripsi: Yerniaman Laia, Pelayanan Holistik kepada Masyarakat Nias
dalam Perspektif Misiologis, (Jakarta: IFTK Jaffray, 2006), 35).
[43]Op.
Cit., 50.
[44]Pelajari
lebih detail tentang Mandat Budaya dan Mandat Penginjilan menurut C. Peter
Wagner dalam bukunya Strategi
Perkembangan Gereja, (Malang: Gandum Mas), 85-90.
[45]Op.
Cit., 52.
[46]Ibid.
[47]Lihat
pembahasan tentang Enkulturasi.
[48]Th.
Kobong, Loc. Cit., 32.
[49]Ibid.
[50]Ibid.,
34.
Komentar