FALSAFAH MUKI NENA
MUKI NENA
Muki Nena (Bahasa Helong) sering di sebut dengan “muki nen apa” secara harafiah artinya “muki” = mempunyai dan “nena” = memiliki. Dua kata ini terbentuk berdasarkan sifat Bahasa Helong yang selalu menggunakan 2 kata yg mirip untuk memberi penekanan arti. Misalnya; ko dalen = perasaan, niu hilin = bersih, otot dada = panas, blingin his = dingin, mitang tilu = hitam, muti kaon = putih, mea dolon= merah, tene bangkar = besar, ana blutu = kecil, dll. Contoh-contoh tersebut sering kita dengar dalam pembicaraan adat dan acara-acara formal pemerintahan yang melibatkan tokoh-tokoh adat.
“Muki Nena” bisa juga disebut sebagai Falsafah / Pandangan Hidup (Word View) Masyarakat Suku Helong yang artinya “Solidaritas atau kekerabatan antar personal maupun komunitas kelompok marga yang terkait terjalin karena sama-sama “memiliki” atau sama-sama “mempunyai” (auk muik ku nol ku nena au)”. “Memiliki” di sini lebih diartikan sebagai ikatan batin karena berasal dari satu keturunan dan “Mempunyai” di sini lebih diartikan sebagai adanya ikatan perjanjian ‘baha’ (perjanjian melalui sejumlah uang yang diletakkan di atas tempat siri pinang). ‘Baha’ bisa dilakukan oleh pribadi tetapi yang sering dijumpai adalah dilakukan melalui pribadi yang mengatasnamakan kelompok. Misalnya; acara pernikahan = mengikat keluarga besar mempelai laki-laki dan mempelai perempuan menjadi kerabat (besan) bahkan juga dalam pembicaraan adat mengenai penguburan orang mati sering kali kita juga menjumpai pribadi-pribadi tertentu yang mengambil “kat baha” untuk membuat perjanjian.
Terlepas dari definisi dan bagaimana caranya ikatan kekerabatan itu terjadi di kalangan masyarakat suku Helong, saya tertarik untuk mengangkat istilah ini “Muki Nena” untuk generasi muda memperhatikannya. Telah disinggung di atas bahwa istilah ini “Muku Nena” bisa juga disebut sebagai falsafah (Word View) masyarakat suku helong yang dengan sadar atau tanpa sadar mempengaruhi perilaku dan cara berpikir masyarakat suku Helong. Karena itu, saya mengajak kepada siapa saja yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, keagamaan, adat, pemerintahan, dsb., untuk mendefinisikan kata ini “Muki Nena” lebih komplit dan diajarkan kepada generasi muda dengan tujuan nilai-nilai yang tersirat dalam istilah ini tidak memudar tetapi setidaknya tetap dipertahankan kelestariannya atau bisa memberi penekanan baru sesuai spirit jaman ini (up to date).
Sebelumnya saya minta maaf, tahun-tahun hidup saya lebih banyak saya jalani di luar tanah tercinta (Bungtilu) apa lagi sudah belasan tahun saya hidup di luar NTT, secara otomatis hal-hal yang menyangkut ‘adat’ saya kurang pahami. Tetapi saya menyadari bahwa saya bukan “kacang lupa kulit”; saya masih paham dialek dan membahasakan bahasa ibu saya (bahasa Helong), nilai-nilai tradisi/adat yang saya pelajari di dalam keluarga (pendidikan informal) yang didapatkan dari kedua orang tua saya masih melekat di dalam benak saya. Dengan demikian pandangan hidup masyarakat suku Helong sudah berurat berakar atau mendarah daging dalam hidup sebagai anak suku. Saya mencoba untuk mencari sebuah kata yang sekiranya dapat mengakomodir pemikiran masyarakat Suku Helong pada umumnya dan kata yang saya dapatkan adalah “Muki Nena”.
Mari ….. ! Siapa yang berkompeten untuk mengajarkan falsafah ini “Muki Nena” silahkan posting di sini dan besar harapan saya ketika kita mengertinya maka ini akan memperkuat persahabatan dan kekerabatan anak suku.
Boablingin totoang!
Apri Laiskodat
Muki Nena (Bahasa Helong) sering di sebut dengan “muki nen apa” secara harafiah artinya “muki” = mempunyai dan “nena” = memiliki. Dua kata ini terbentuk berdasarkan sifat Bahasa Helong yang selalu menggunakan 2 kata yg mirip untuk memberi penekanan arti. Misalnya; ko dalen = perasaan, niu hilin = bersih, otot dada = panas, blingin his = dingin, mitang tilu = hitam, muti kaon = putih, mea dolon= merah, tene bangkar = besar, ana blutu = kecil, dll. Contoh-contoh tersebut sering kita dengar dalam pembicaraan adat dan acara-acara formal pemerintahan yang melibatkan tokoh-tokoh adat.
“Muki Nena” bisa juga disebut sebagai Falsafah / Pandangan Hidup (Word View) Masyarakat Suku Helong yang artinya “Solidaritas atau kekerabatan antar personal maupun komunitas kelompok marga yang terkait terjalin karena sama-sama “memiliki” atau sama-sama “mempunyai” (auk muik ku nol ku nena au)”. “Memiliki” di sini lebih diartikan sebagai ikatan batin karena berasal dari satu keturunan dan “Mempunyai” di sini lebih diartikan sebagai adanya ikatan perjanjian ‘baha’ (perjanjian melalui sejumlah uang yang diletakkan di atas tempat siri pinang). ‘Baha’ bisa dilakukan oleh pribadi tetapi yang sering dijumpai adalah dilakukan melalui pribadi yang mengatasnamakan kelompok. Misalnya; acara pernikahan = mengikat keluarga besar mempelai laki-laki dan mempelai perempuan menjadi kerabat (besan) bahkan juga dalam pembicaraan adat mengenai penguburan orang mati sering kali kita juga menjumpai pribadi-pribadi tertentu yang mengambil “kat baha” untuk membuat perjanjian.
Terlepas dari definisi dan bagaimana caranya ikatan kekerabatan itu terjadi di kalangan masyarakat suku Helong, saya tertarik untuk mengangkat istilah ini “Muki Nena” untuk generasi muda memperhatikannya. Telah disinggung di atas bahwa istilah ini “Muku Nena” bisa juga disebut sebagai falsafah (Word View) masyarakat suku helong yang dengan sadar atau tanpa sadar mempengaruhi perilaku dan cara berpikir masyarakat suku Helong. Karena itu, saya mengajak kepada siapa saja yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, keagamaan, adat, pemerintahan, dsb., untuk mendefinisikan kata ini “Muki Nena” lebih komplit dan diajarkan kepada generasi muda dengan tujuan nilai-nilai yang tersirat dalam istilah ini tidak memudar tetapi setidaknya tetap dipertahankan kelestariannya atau bisa memberi penekanan baru sesuai spirit jaman ini (up to date).
Sebelumnya saya minta maaf, tahun-tahun hidup saya lebih banyak saya jalani di luar tanah tercinta (Bungtilu) apa lagi sudah belasan tahun saya hidup di luar NTT, secara otomatis hal-hal yang menyangkut ‘adat’ saya kurang pahami. Tetapi saya menyadari bahwa saya bukan “kacang lupa kulit”; saya masih paham dialek dan membahasakan bahasa ibu saya (bahasa Helong), nilai-nilai tradisi/adat yang saya pelajari di dalam keluarga (pendidikan informal) yang didapatkan dari kedua orang tua saya masih melekat di dalam benak saya. Dengan demikian pandangan hidup masyarakat suku Helong sudah berurat berakar atau mendarah daging dalam hidup sebagai anak suku. Saya mencoba untuk mencari sebuah kata yang sekiranya dapat mengakomodir pemikiran masyarakat Suku Helong pada umumnya dan kata yang saya dapatkan adalah “Muki Nena”.
Mari ….. ! Siapa yang berkompeten untuk mengajarkan falsafah ini “Muki Nena” silahkan posting di sini dan besar harapan saya ketika kita mengertinya maka ini akan memperkuat persahabatan dan kekerabatan anak suku.
Boablingin totoang!
Apri Laiskodat
Komentar
Informasi tentang waktu dan tempat akan disampaikan kemudian.
doa saya, Tuhan pulihkan daerah kita untuk menjadi berkat bagi daerah yang lain. Tx and God bless all fo you!
salam
mari kita bersama-sama membangun daerah kita untuk menjadi berkat bagi kemuliaan nama Tuhan Yesus.Tx and God bless all of you!